Penyebab radiasi gelombang infra merah rendah di equator
Tidak semua radiasi yang berasal dari matahari sampai ke bumi. Hanya sekitar 50% yang mencapai bumi, yang lainnya diserap oleh awan dan gas gas yang ada di atmosfer. Radiasi yang diserap oleh permuka an bumi kemudian dipancarkan dalam bentuk panas (radiasi gelombang panjang). Selanjutnya radiasi gelombang panjang ini diemisikan ke atmosfer, sebagian ada yang lolos ke angkasa dan sebagian lagi tertahan atau terperangkap dan diserap oleh GRK (gas rumah kaca) yang ada di atmosfer, misalnya uap air, CO2 , O3 , CFC, serta awan sehingga tidak dapat lolos ke angkasa
Infra red merupakan hasil perhitungan satelit yang dikenal sebagai outgoing long-wave radiation. Nilai OLR yang rendah biasanya mengindikasikan suhu yang rendah atau adanya hujan, sedangkan nilai yang tinggi menunjukkan daerah hangat di bumi. Outgoing Longwave Radiation (OLR) adalah ukuran atau nilai radiasi bumi yang memiliki panjang gelombang panjang yang terdeteksi dari luar angkasa. Deteksi ini biasa dilakukan dengan peralatan satelit. Nilai yang diukur ini menggambarkan seberapa besar perawanan menghambat keluarnya radiasi bumi tersebut. Nilai OLR merupakan nilai negatif yang menunjukkan besarnya hambatan tersebut. Semakin kecil nilai dalam skala negatif menunjukkan semakin besarnya hambatan sehingga dapat divisualisasi sebagai semakin tingginya awan yang menghambat tersebut yang biasanya adalah awan konvektif. Secara umum pola OLR menggambarkan pola daerah konvektif potensial.Lebih rendahnya IR pada wilayah Indonesia di equator disebabkan tingginya pembentukan awan pada wilayah Indonesia atau disebut dengan intertropical convergence zone (ITCZ) yang merupakan daerah dengan intensitas awan tinggi . Pada wilayah Indonesia diketahui bahwa ITCZ terbentang pada sepanjang musim dingin (winter boreal) hingga musim timur. Sedangkan pada wilayah pasifik pertengahan ITCZ bergerak kearah utara-selatan hanya selama musim dingin (winter boreal). Pada wilayah bagian selatan di timur Pasifik/ lepas pantai Amerika Selatan wilayah ini bebas awan sepanjang tahun (Wylie & Menzel, 1998).Pergerakan ITCZ diduga berkaitan dengan propagasi MJO. MJO merupakan fenomena skala besar yang terjadi akibat adanya pola sirkulasi atmosfer dan konveksi yang kuat. MJO berpropagasi dari bagian barat Indonesia (Samudra Hindia) ke arah timur (Samudra Pasifik) dengan kecepatan rata-rata 5 m/s (Zhang 2005). Sirkulasi ini ditandai dengan tumbuhnya awan skala besar yang dikenal dengan Super Cloud Clusters (SCCs) di Samudra Hindia bagian timur.
Penguatan MJO berada di bagian timur Indonesia dan terus bergerak ke Samudra Pasifik. Pada fase terakhir, terlihat berkurangnya area dengan anomali negatif OLR dan sekaligus diikuti dengan pelemahan kecepatan angin. MJO kemudian semakin melemah dan nantinya akan hilang di Samudra Pasifik dan akan tumbuh kembali di Samudra Hindia (Nabil, 2014). Lebih banyak awan yang terbentuk pada sekitar perairan Indonesia menyebabkan penyerapan IR menjadi lebih tingginya, akibatnya pantulan IR kembali ke satelit menjadi lebih berkurang. Hal inilah yang menyebabkan lebih rendahnya IR di dekat perairan Indonesia.
Referensi
Nabil. 2014. Respon Suhu Permukaan Laut (Spl) Dan Klorofil-A Terhadap Madden-Julian Oscillation (Mjo) Di Laut Indonesia. [Skripsi]. IPB.
Wylie DP, Menzel WP. 1998. Eight Years of High Cloud Statistics using HIRS. Clim.12.
Zhang C. 2005. Madden-Julian Oscillation. Rev. Geophys. 43:1-36.